Senin, 18 April 2011

Sastra islami di tengah sastra kontemporer


Oleh Riannawati (Sekjen FLP Jateng, Dosen Sastra Indonesia UNS) 


Berbicara mengenai sastra Islam di Indonesia hampir selalu mengandung polemik. Banyak tokoh yang mempunyai batasan sendiri tentang sastra Islam. Karya-karya sastra Islam lama yang dihasilkan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Fanshuri dan lain sebagainya menunjukkan bahwa sastra Islam memang ada. Sekarang sastra Islam masih berkembang meskipun dengan sajian yang berbeda. ‘Booming’ novel Islami yang memenuhi rak-rak toko buku dan banyaknya penulis yang lahir dengan ‘label’ Islami menunjukkan fenomena bahwa sastra Islam memang benar-benar ada. Polemik tentang sastra Islam ini membuat cukup banyak kalangan yang bingung dan terus mencari-cari informasi tentang hal tersebut. Apalagi perihal sastra Islam jarang disinggung oleh para sastrawan, kritikus bahkan ulama karena tidak atau belum dianggap sebagai sesuatu yang penting. Tulisan ini akan memaparkan beberapa hal tentang sastra Islam, terutama kemunculannya, dan fenomena banyaknya karya yang muncul dengan label ‘Islami’ di sampulnya.

Kata kunci: sastra Islami-perkembangan-sastra kontemporer

1.      Pendahuluan
Menurut A. Teeuw, sastra harus dulce et utile (menghibur dan bermanfaat). Tentu saja ini untuk pembacanya karena karya sastra akan dinikmati oleh pembaca. Ada ‘sesuatu’ yang didapat pembaca setelah membaca sebuah karya. Selama ini, perkembangan sastra di Indonesia membawa ‘sesuatu’ tersebut secara tersurat maupun tersirat.
Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia banyak diangkat dalam karya sastra. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan dan menghayati makna kehidupan tersebut. Pemilihan tema-tema tertentu ke dalam sebuah karya bersifat subjektif; masalah kehidupan manakah yang paling menarik perhatian pengarang sehingga merasa terdorong untuk mengungkapkannya dalam bentuk karya.
Selain hal tersebut, sebuah karya juga lahir dari keadaan sosial budaya masyarakat yang menjadi lingkungan penciptaannya. Renne Wellek dan Austin Warren (1989: 111) menyebutnya sebagai sosiologi pengarang—yang diantaranya adalah latar belakang sosial dan ideologi pengarang—yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka wajarlah jika banyak aliran sastra muncul dari banyak pengarang yang dipengaruhi oleh ekspresi dari dalam diri dan sosiologi masyarakatnya. Misalnya Chairil Anwar dengan tema-tema patriotismenya saat kondisi Indonesia dalam masa-masa perjuangan, tema kemiskinan dan masyarakat kelas bawah yang banyak diangkat pada tahun 1960-an, hingga sastra populer ‘generasi’ Marga T. dengan Karmila dan Ashadi Siregar dengan Cintaku di Kampus Biru.
Keanekaragaman tema karya sastra semakin variatif ketika pascareformasi. Sejak dibubarkannya Departemen Penerangan dan ‘dimudahkannya’ proses penerbitan sebuah karya, maka banjirlah sastra di Indonesia dengan berbagai alirannya. Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dkk. dengan sastra wanginya, arus besar Afrizalian (pengikut gaya Afrizal Malna) yang anomik, termasuk sastra Islami yang booming dengan label ‘Islami’ pada kemasannya.
Sastra Islami banyak memunculkan perdebatan di kalangan sastrawan. Bahkan A.A. Navis mengatakan bahwa sastra Islam adalah sesuatu yang utopis untuk saat ini. (dalam Helvy Tiana Rosa, 2003:1). Edy A. Effendi membuat kesimpulan agar sastra Islam ditolak karena tidak ada estetika yang diusungnya (Media Indonesia, 3 Juli 2005), dan Chavchay Syaifullah kebingungan soal estetika sastra Islam serta mempertanyakan apa itu sastra Islam (Media Indonesia, 10 Juli 2005). Aguk Irawan MN (Republika, 23 November 2003) menulis artikel berjudul Merumuskan Kembali Konsep Sastra Islami yang inti dari tulisannya adalah menolak sastra Islami.
Namun benarkah sastra Islami itu tidak ada? Jika demikian, mengapa banyak karya sastra yang bernafaskan Islam dan dengan terang-terangan mencantumkan label ‘Islami’ pada kemasannya? Jika memang ada, bagaimana kemunculannya? Tulisan ini akan memaparkan tentang sastra Islami; kemunculannya di Indonesia, definisi dan cirinya, dan perkembangannya hingga saat ini. Hal ini penulis angkat karena fenomena yang muncul di sekitar kita menunjukkan realita yang demikian.

2.      Sastra Islami

2.1  Sastra dan Religiusitas

Membahas sastra religius memang tidak gampang karena akan terbentur banyak hal. Sejak pemahaman tentang religiusitas itu sendiri sampai kaitannya dengan agama lain, yang mempunyai klaim religiusitas berbeda.
Pada tataran inilah persoalan religiusitas dalam karya sastra menjadi persoalan kompleks. Tidak cuma selesai dengan meminjam formula-formula atau definisi-definisi yang ada maupun membuat formula-formula baru dengan harapan lebih paradigmatis.
Religiusitas menurut Saridjo (Jassin 1972: 60), yakni karya sastra yang melukiskan konflik keagamaan dan karya sastra yang menitikberatkan kehidupan agama sebagai pemecahan persoalan. Jenis ajaran religius itu sendiri mencakup masalah yang tidak terbatas dan mencakup semua persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang mencakup harkat dan martabat manusia. Secara garis besar, masalah hidup dan kehidupan dapat dibedakan menjadi: persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk dengan alam, dan persoalan manusia dengan tuhannya. (www.forumlingkarpena.com)
Sedangkan menurut Atmosuwito (1987:124) religiusitas sastra adalah (1) penyerahan diri, tunduk dan taat kepada Sang Pencipta, (2) kehidupan yang penuh kemuliaan, (3) perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, (4) perasaan berdosa, (5) perasaan takut, dan (6) mengakui kebesaran Tuhan.
Religiusitas dalam karya sastra lebih kepada persoalan individu sastrawan dalam menghasilkan teks-teks sastra yang begitu kental akan nilai-nilai religi dan transendental. Disebut begitu, karena religiusitas merupakan kodrat manusia yang paling hakiki. Begitu ummat manusia diciptakan-Nya, saat itu juga manusia sudah harus mengabdi kepada Yang Maha Kuasa; menyembah-Nya sebagai wujud dari kesadaran transendental seorang hamba. Bahkan seorang ateis sekalipun tidak bisa mengabaikan nilai-nilai religius yang ada dalam dirinya. (Budi P Hatees, dalam Republika 9 Desember 2001)
Sebab itu, perdebatan religiusitas dalam karya sastra lebih baik diarahkan kepada fenomena maraknya karya-karya sastra religius yang ditulis lebih sebagai mode. Sebab karya-karya sastra religi, yang oleh para pengamat sastra diposisikan sebagai karya percerahan rohani, ternyata tidak melulu ditulis sebagai salah satu medium berkomunikasi antara manusia sastrawan dengan Yang Maha Kuasa.
Karya-karya sastra religius itu, yang kental akan "penyerahan habis-habisan seorang hamba kepada Penciptanya", ditulis dalam semangat massa. Artinya, sastrawan bersangkutan hanya bertujuan menghasilkan sebuah karya sastra yang digemari publik, di mana seleksi pertama ada di tangan para redaktur budaya media koran atau majalah.

2.2  Sastra Islami

Menurut buku Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik karya Liauw Yock Fang (Erlangga, Jakarta 1991), di Malaysia pernah terjadi perdebatan seru mengenai sastra Islam. Perdebatan itu dipicu oleh makalah Shahnon Ahmad. Sastra Islam, yang dimuat dalam Majalah Dewan Bahasa, Kuala Lumpur, edisi Juli 1977.
Permasalahan yang diperdebatkan berkibar pada apa yang dimaksud dengan harus "mendukung nilai-nilai Islam", ataukah "berdasarkan kisah-kisah yang tersela dalam Al Qur'an dan Hadits" ataukan "hasil tulisan yang berdasarkan tauhid".
Menurut Liauw Yock Fang, dengan pengetatan ciri-ciri sastra Islam, bisa-bisa sebagian besar khasanah sastra Melayu lama dianggap "bukan sastra Islam" (dan bukan sastra religius). Sebab, sebagian besar karya sastra Melayu lama "melenceng" dan nilai-nilai Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Al Qur'an dan Hadits. Tetapi, menurut Yock Fang, hal itu bisa difahami karena Islam masuk ke berbagai negara melalui berbagai negara pula. Tentu, banyak bercampur dengan kultur tradisional setempat yang kebanyakan bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Karena kultur setempat itu diadopsi begitu saja oleh sastrawan Islam di masa itu—tidak disaring sebagaimana Sunan Kalijaga mengawinkan Islam dan kultur tradisional Jawa—maka jadilah ajaran Islam yang tercampur dengan kultur tradisional yang kemudian juga tercermin dalam karya-karya sastra lama.
Percampuran seperti itu bahkan tak jarang menimpa karya-karya sastra masa kini, dimana nilai-nilai Islam yang dianut oleh para sastrawan masa kini bisa jadi tercampur berbagai ideologi, baik ideologi Timur maupun Barat yang tidak disaring secara ketat dan ditelan saja mentah-mentah.
Karya-karya lama dari Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Fanshuri dan semacamnya yang sering dibahas Abdul Hadi W.M. itu menunjukkan bahwa sastra Islami telah ada sejak dulu. Dalam makalahnya “Islam, Puitika Al Quran dan Sastra” yang disampaikan dalam sebuah acara di Yogyakarta pada September 2003, Abdul Hadi W.M. menambahkan bahwa pandangan dan anggapan yang meragukan nisbah Islam dengan sastra dan kesangsian bahwa sastra Islam dengan tema, corak pengucapan, wawasan estetik serta pandangan dunia tersendiri, pada umumnya timbul untuk menafikan sumbangan Islam terhadap kebudayaan dan peradaban umat manusia. Sebagian anggapan berkembang karena semata kurangnya perhatian dari umat Islam dewasa ini terhadap sastra dan tiadanya apresiasi. Abdul Hadi W.M. mengatakan bahwa sastra Islam itu ada, bahkan eksis. “Sastra Hindu saja ada, mengapa sastra Islam tak ada?” kata beliau.
Pembahasan tentang sastra Islam kontemporer di Indonesia memang sangat minim—kalau boleh dikatakan nyaris tidak ada. Padahal sebenarnya, cukup banyak sastrawan muslim yang memberi istilah sendiri pada karya sastra yang dibuatnya yang mengarah pada ‘sastra Islam’. Menurut Hamdy Salad (dalam Helvy Tiana Rosa, 2000:3), istilah-istilah tersebut berakar pada wacana keimanan atau religiusitas yang dibawanya. Ada yang menyebutnya sastra pencerahan (Danarto), sastra profetik (Kuntowijoyo), sastra sufistik (Abdul Hadi W.M.), sastra dzikir (Taufiq Ismail), sastra terlibat dengan dunia dalam (M. Fudoli Zaini), sastra transenden (Sutardji Calzoum Bachri). Namun selain Abdul Hadi W.M., tak satu pun yang mengidentikkan penyebutan tersebut dengan sastra Islam, walau sebenarnya hal tersebut, tak bisa dinafikan, merupakan tafsir lain dari sastra Islam.
Dr. Simuh dalam buku Sastra dan Budaya Islam Nusantara mengatakan sastra Islam memberikan sumbangan yang sangat besar kepada sejarah. "Bila jejak sejarah yang berupa nisan raja-raja Aceh tidak bisa mengungkapkan Islam yang bagaimana yang datang ke Indonesia, sastra Islam Melayu ataupun Jawa bisa menggambarkan paham atau aliran Islam apa yang menyebar di Indonesia."

2.3  Beberapa Penulis Kontemporer yang ‘Beraliran’ Islam

Djamil Suherman banyak menulis cerpen dengan latar kehidupan pesantren. Diksi-diksi yang dipakainya untuk mendeskripsikan realitas kehidupan para santri sangat akrab dengan realitas sehari-hari pondok pesantren misalnya tarawih, santri, tadarus, dan lain sebagainya. Nilai yang hendak disampaikannya pun seputar dunia yang ditekuni para santri, sebuah pilihan hidup untuk selalu eling kepada Yang Maha Kuasa.
Sastrawan Ahmad Tohari, penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, dalam buku Sastra dan Budaya Islam Nusantara (IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, 1998), pernah menawarkan batasan, "Sastra pesantren merupakan karya sastra yang hidup dan diciptakan oleh kalangan pesantren, atau karya sastra yang bermuatan misi dakwah."
Dalam kesusastraan kita kini, tidak banyak sastrawan yang mengikuti jejak Djamil Suherman. Ada memang banyak sastrawan yang merupakan produk pesantren, yang mempunyai kontribusi besar dalam khasanah kesastraan Indonesia mutakhir, seperti KH Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib, Ahmad Tohari, Fudoli Zaini, Zawawi Imron, Acep Zamzam Nur, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Jamal D. Rahman, Mathori A Elwa, dan Nasruddin Anshory. Tapi para sastrawan produk pesantren itu tidak hanya menulis kehidupan di sekitar pesantren seperti Djamil Suherman, melainkan juga menulis tentang banyak hal sebagaimana sastrawan lain yang bukan produk pondok pesantren. Sebut saja Fudoli Zaini dengan cerpen-cerpen yang temanya sangat beragam dalam kehidupan yang begitu luas.
Begitu pula Ahmad Tohari, lebih menekuni kehidupan pedesaan dengan segala macam variasinya, baik dalam bentuk cerpen maupun novel. Zawawi Imron memilih menulis puisi yang kental akan tradisi budaya Madura. Sedangkan Acep Zamzam Noor lebih banyak dipengaruhi globalisasi peradaban, dan membentuknya sebagai penyair yang santri.
Sekalipun mereka yang penulis sebut terakhir tidak melulu bicara kehidupan pesantren, namun kekhasan seorang santri tetap ditemukan dalam karya-karya mereka. Kekhasan ini berkaitan dengan nilai-nilai agama Islam yang mereka anut, yang bukan begitu koheren di dalam diri mereka sehingga menghasilkan karya-karya sastra yang kuat akan religiusitas. Karya-karya sastra mereka, banyak mempengaruhi estetika dunia kesusastraan nasional saat ini, dimana banyak sastrawan yang bukan produk pondok pesantren, berlomba menciptakan karya sastra yang religius.
Karya-karya sastra yang dihasilkan aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) di seluruh Indonesia, sebagian bukan produk pesantren, sangat kental memuat misi dakwah agama Islam. Dalam novel-novel Gola Gong misalnya, terutama yang diterbitkan Mizan, misi dakwah itu menjadi ruh yang menghidupi karya tersebut. Begitu juga dengan cerpen-cerpen bahkan komik, semua unsur yang membentuk karya-karya itu hanya sebagai pelengkap dari misi dakwah agama Islam tersebut. Artinya, batasan "bermuatan misi agama" itu hanya memberi pengertian umum dan bukan ciri khas.
Helvy Tiana Rosa (2003:7) menjadikan sastra sebagai sarana dakwah yang bukan saja memberikan pencerahan fikriyah namun juga pencerahan ruhiyah bagi para pembacanya. Di sinilah peran sastra sebenarnya yakni turut mengambil bagian dalam membenahi masyarakatnya.
Koran Republika menulis bahwa bagaimanapun FLP membawa fenomena baru dalam penulisan sastra kontemporer di Indonesia. Karya-karya FLP juga mendapat perhatian dan penghargaan dari para peminat sastra. Majalah Amanah menyatakan FLP dan para anggotanya telah membawa genre baru dalam sejarah sastra dan penulisan di Indonesia. Sementara harian The Straits Times yang terbit di Singapura menyebut FLP sebagai kelompok fenomenal yang terus menerus melakukan training, workshop dan aneka kegiatan lainnya tanpa henti untuk mendukung lahirnya penulis baru. Tabloid Fikri berkomentar, prestasi yang diukir FLP menyeruaki langit sastra Indonesia dan mancanegara. Koran Tempo bahkan menjuluki ketua umum FLP sebagai ‘Lokomotif Penulis Muda Indonesia’ (Helvy Tiana Rosa, 2003:48).


2.4  Sastra Islami: Maraknya Novel Berlabel ‘Islami’

Jumlah penduduk Indonesia yang besar, kebanyakan beragama Islam, merupakan pasar yang sangat menjanjikan. Tingginya minat masyarakat untuk membaca buku-buku Islam tercermin dari volume penjualan buku-buku Islam yang relatif stabil, bahkan pada masa krisis.
Segmentasi sastra Islam yang sangat jelas itulah yang membuat kehadiran sastra Islam menjadi semacam 'teror' dalam industri perbukuan. 'Teror' yang akan berlanjut mengingat regenerasi penulis sastra Islam menunjukkan perkembangan yang begitu luar biasa, tiap bulan selalu muncul penulis baru dengan karya-karya yang tidak bisa diremehkan.
Memang, banyak kelemahan dari sastra Islam jika dilihat dari kualitas estetika sastrawi. Tetapi, kelemahan adalah awal dari tindakan-tindakan yang dapat dipuji. Sebab, setiap karya sastra Islam menawarkan satu perspektif: syiar agama. Kelemahan tersebut hanya dilihat oleh mereka yang berkepentingan terhadap karya sastra sebagai produk kesenian, sedangkan para penulis sastra Islam lebih berkepentingan terhadap syiar agama Islam. Hal itu yang membuat Edy A Effendi sampai pada kesimpulan agar sastra Islam ditolak karena tidak ada estetika yang diusungnya (Media Indonesia, 3 Juli 2005), dan Chavchay Syaifullah kebingungan soal estetika sastra Islam serta mempertanyakan apa itu sastra Islam (Media Indonesia, 10 Juli 2005). Namun realitanya, sastra Islam memang disambut ‘hangat’ di masyarakat.
Banyak penerbit yang berlomba-lomba menerbitkan buku (novel dan kumcer) yang diberi label Islami pada covernya. Bahkan penerbit besar semacam Gramedia pun melakukannya.
Menyangkut penamaan "Islami" dan ukuran yang digunakan di situ, Andi Yudha Asfandiyar, Grand Manager Divisi Anak dan Remaja Penerbit Buku Mizan, memandang hal itu lebih bertujuan untuk memudahkan publik dalam memilih bacaannya. Hal yang sama juga dikatakan oleh Agus R.Sarjono. "Mengklaim sebuah karya sebagai islami, dari segi pemasaran sangat bagus karena para konsumen muslim akan tergoda untuk membeli dan membacanya."
Sedangkan menurut Helvy Tiana Rosa, label Islami itu memberikan batasan pada pembaca bahwa isi buku tersebut (1) tidak melalaikan pembacanya dari Tuhan, (2) tidak syirik (menyekutukan Tuhan), dan (3) tidak mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa ‘indahnya’ kemaksiatan, secara vulgar dengan mengatasnamakan seni atau aliran sastra apapun.
Tahun 2000-an awal ‘booming’ sastra Islami begitu terasa. Hal ini karena pemegang kekuasaan reproduksi sastra (penerbit) melihat bahwa itulah karya yang sedang laku di pasar. Karena itu mendatangkan untung besar untuk penerbit, maka eksploitasi pun dilakukan sehingga kualitas isi kurang terjaga. Hal tersebut menyebabkan kejenuhan pasar dan membuat ‘booming’ itu meredup beberapa tahun kemudian. Namun demikian, karya sejenis masih menjadi konsumsi sebagian masyarakat Islam.

3.      Penutup
Akhirnya, sastra Islam adalah salah satu alternatif dalam memperkaya khazanah kesusastraan di Indonesia. Kuntowijoyo (dengan konsep sastra profetik-nya) pernah menulis bahwa seorang muslim yang baik adalah yang bisa menginternalisasi nilai-nilai keislaman ke dalam dirinya. Dengan begitu, setiap ucapan dan tindakannya—termasuk tulisannya—yang keluar adalah yang Islami, baik dengan simbol-simbol keagamaan yang nyata maupun hanya substansinya. Karena, seorang muslim yang baik pastinya ingin segala kesehariannya sedekat mungkin dengan kemauan Tuhannya.
Namun jika dalam perjalanannya, sastra Islam belum bermain dalam wilayah estetika dan masih dalam wilayah teologi, kita bisa memberikan kritikan yang membangun dan masukan yang benar. Biarlah bunga sastra Islami tetap ada di taman sastra Indonesia. Tinggal bagaimana kita mengingatkan sang empunya untuk terus menyiraminya dengan air, memberinya pupuk, dan merawatnya dengan telaten, agar sang bunga bisa cepat merekah dan publik bisa memetiknya dengan senang hati.




Daftar Pustaka

Abdul Hadi W.M. 2002. Islam, Poetika Al Quran dan Sastra. (makalah Seminar Nasional “Posisi Seni Budaya Islam pada Era Peradaban Global” di Yogyakarta pada 21 September 2002
Aminullah HA Noor. 2005. Sastra Religius di Tahun Seni Budaya. Suara Karya tanggal 25 September 2005
Budi P Hatees. 2001. Sastra Religius, Agama, dan Kemunafikan. Republika tanggal 9 Desember 2001
Burhan Nurgiyantoro. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pess.
Helvy Tiana Rosa. 2003. Segenggam Gumam. Bandung: Syaamil Cipta Media.
Liauw Yock Fang. 1991. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.
Melani Budianta. 2000. Membaca Sastra. Yogyakarta: Indoensia Tera.
Renne Wellek dan Austin Warren.1989. Teori Kesusastraan (diterjemahkan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Khazanah online 13 Juni 2002



Dimuat di jurnal Nuansa Indonesia
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS
Volume XIII/No 1 Februari 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar